Minggu, 07 Juni 2015

Peran TNI dalam Bidang Politik


Di masa Orde Baru, peran militer jauh melampaui peran spesifiknya di bidang pertahanan dan keamanan nasional. Biasanya, keterlibatan militer di bidang politik disebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer di Indonesia sehingga istilah "intervensi" tampak teramat sederhana dan tidak dapat mencerminkan besarnya skala dan cakupan peran militer tersebut.

Pada sisi lain, baik pada Orde Baru maupun Orde Lama, para politisi cenderung memanfaatkan militer untuk kepentingan politik. Dengan demikian, proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia diharapkan menyehatkan hubungan sipil-militer dari kedua belah pihak. Artinya, supremasi sipil tetap ditegakkan, tetapi kalangan sipil juga harus bertekad menghindari penggunaan militer untuk kepentingan politik.

Peranan TNI dalam bidang politik dimulai dengan dikenalkannya politik pada tentara yaitu pada masa kabinet Amir Syarifudin. Pada masa itu, TNI dibagi ke dalam dua bagian, yaitu Deaprtemen pertahanan dan TNI Mobil. Departemen pertahanan ini dipimpin langsung oleh Amir Syarifudin, sedangkan TNI Mobil Dipimpin oleh Sudirman. Dalam Departemen Pertahanan inilah pendidikan politik pada TNI diberikan. Sejak itulah TNI mulai mengenal dunia politik.

Pada tahun 1965, tepatnya 1 oktober 1965, TNI melakukan kudeta militer terhadap Presiden Soekarno. Akan tetapi, kudeta tersebut tidak terlaksana dan hanya sekedar domonstrasi bersenjata saja di depan Istana Negara. Salah satu faktor penyebab terjadinya peristiwa itu adalah adanya keinginan pihak TNI untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan politik. Namun, hal tersebut ditolak oleh Soekarno.
Salah satu di antara peran non-pertahanan yang dimainkan oleh TNI adalah peran sosial-politik. Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Perwira-perwira militer, termasuk yang aktif, mulai dari menjadi kepala desa/ lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, sampai menjadi menteri. Bahkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pernah diisi oleh orang militer secara bersamaan.

Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari kepala dinas, kepala kantor departemen, inspektur jenderal, direktur jenderal, sampai sekretaris jenderal.
Selain itu, militer juga mengisi kursi di lembaga legislatif dan memiliki fraksi tersendiri yakni fraksi ABRI, baik di DPR maupun DPRD, yang diperoleh melalui penjatahan, bukan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Jumlah kursi di DPR yang dijatahkan untuk militer pernah mencapai 100 kursi, kemudian dikurangi menjadi 75, dan sekarang menjadi 38.

Tidak cukup sampai di situ saja, militer juga hadir di badan-badan ekonomi seperti Badan Usaha Milik Negara dan koperasi. Organisasi politik, organisasi kepemudaan, dan organisasi kebudayaan serta olahraga juga terbuka bagi militer. Praktek penjatahan jabatan-jabatan sipil yang diberikan kepada militer, baik di tingkat pusat maupun daerah, berjalan lancar.

Lebih lanjut lagi, praktek yang tidak selaras dengan spesialisasi fungsi militer tadi, didukung dan dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran-tafsiran historis, ideologis, dan konstitusional. Disebutkan bahwa peran yang dominan itu selaras dengan fakta bahwa militer adalah tentara rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Konsekuensinya, dikotomi sipil-militer tidak dikenal dalam sistem politik Indonesia dan kedudukan militer dalam jabatan-jabatan sipil dapat dibenarkan.

Secara ideologis, militer mengedepankan dan mensosialisasikan dwifungsi ABRI sebagai alasan bagi perangkapan fungsi militer dan penguasaan militer atas posisi-posisi politik, sosial dan ekonomi. Argumen konstitusional juga diberikan dengan menyalahgunakan pasal 2 UUD 1945 sehingga militer dianggap termasuk ke dalam kategori “golongan” yang berhak duduk di lembaga legislatif.

Peran militer yang dominan seperti terjadi pada masa Orde Baru tentu saja menimbulkan berbagai dampak yang negatif dan destruktif dilihat dari pembinaan tatanan politik yang demokratis. Dominasi militer bukan hanya di birokrasi sipil saja tetapi juga militerisasi masyarakat sipil, misalnya pembentukan resimen mahasiswa dan lembaga-lembaga paramiliter sebagai bagian dari organisasi massa. Sebagai akibatnya, di kalangan masyarakat sipil muncul budaya dan perilaku yang militeristis. Akan tetapi, hal tersebut tidak sepenuhnya negatif dan destruktif, ada pula sisi positif yang bisa diambil dari dibentuknya organisasi masa yang berbasis militer tersebut, yaitu dengan tumbuhnya rasa nasionalisme yang tinggi pada kaum muda, yang saat ini rasa nasionalisme pada jiwa kaum muda bangsa Indonesia sudah minim sekali.

Disamping itu juga, dominasi politik TNI mendorong bangsa dan negara Indonesia ke arah disintegrasi. Walaupun hal ini menjadi masalah di seluruh Indonesia, gejalanya terlihat paling jelas di Timor Timur, Aceh dan Ambon. Keadaan ini sungguh ironis mengingat bahwa selama ini TNI menganggap dirinya sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan negara.

Reformasi posisi dan peran militer tersebut perlu dilaksanakan, dan dilaksanakan sesegera mungkin, berdasarkan anggapan bahwa fungsi militer perlu dikembalikan ke bidang pertahanan saja. Sebab, militer sebagai alat negara terbentuk supaya di dalam struktur negara ada badan yang diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan senjata. Itulah sebabnya, prinsip dan praktek demokrasi mengharuskan militer menjadi alat negara yang menjalankan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, sedangkan kebijakan itu dibuat oleh pihak lain seperti pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk secara demokratis.

Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa, apabila monopoli tersebut gagal atau bermasalah, akan terjadi beberapa kemungkinan yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan militer sendiri yang ingin hidup tenteram dan demokratis. Salah satu di antaranya adalah militer yang kebal hukum, yaitu dimana militer menyalahgunakan monopoli tersebut, tetapi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer tidak diusut dan diadili dengan tuntas. Dua kemungkinan lain adalah pecahnya perang saudara, yaitu ketika suatu unsur masyarakat melanggar prinsip monopoli di atas dan menggunakan kekerasan senjata terhadap unsur masyarakat lain, dan pemberontakan, yaitu bila suatu unsur masyarakat melanggar monopoli tersebut dan menggunakan kekerasan senjata melawan pemerintah. Biasanya, dalam situasi ketika monopoli tersebut terancam, militer dihadapkan pada berbagai persoalan seperti demoralisasi, perpecahan internal, dan gangguan pada hirarki komando. Oleh karena itu, reformasi posisi dan peran TNI sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia adalah demi kebaikan TNI pula.

Fenomena di atas telah sering dipertanyakan di masa lalu. Namun, sistem otoriter yang kaku tidak memungkinkan adanya perubahan yang mendasar. Dalam era reformasi ini, suara dan desakan dari masyarakat semakin keras menuntut adanya reformasi posisi dan peran militer menuju kehidupan yang demokratis di Indonesia. Tuntutan tersebut dijawab oleh TNI dengan “Paradigma Baru-nya”.

Pelaksanaan paradigma tersebut telah membawa dampak yang cukup positif. Misalnya, TNI memutuskan hubungan historisnya dengan Golkar dan bersikap cukup netral dalam pemilu yang lalu. Proses reformasi kepolisian juga dimulai dengan dipisahkannya POLRI dari ABRI. Contoh lain adalah kebijakan baru yang mengharuskan anggota aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk memilih kembali ke satuannya atau pensiun.
Namun, di sisi lain, paradigma itu dinilai tetap mempertahankan peran sosial-politik TNI, walaupun pada tingkat intensitas yang lebih rendah. Di samping itu, pelaksanaan paradigma itu terkesan lebih merupakan upaya TNI untuk memperbaiki citranya daripada menyelesaikan persoalan yang sebenarnya. Akan tetapi, sudah ada usah dari pihak TNI untuk memperbaiki funfsi dan tugasnya, walaupun itu hanya untuk sekedar merubah citra belaka, yang terpenting, sudah ada perubahan dalam tubuh TNI, sehingga dominasi TNI dalam bidang politik akan semakin berkurang, dan suatu saat nanti harus sama sekali habis.

Oleh karena itu, kehadiran Paradigma Supremasi Sipil ini dirasakan perlu untuk lebih memperluas wacana publik mengenai penataan kembali hubungan sipil-militer di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Dengan demikian, sangat diharapkan bahwa rekomendasi yang terkandung dalam cetak biru ini dapat diwujudkan dalam ketetapan MPR, sebagai landasan kebijakan pemerintahan selama lima tahun ke depan.


Sumber:
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusuanto. 1993.
 Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Robinson, Geofrey B. 2000.
 Kudeta Angkatan Darat. Terj. Abijan Wahid. Jakarta: Teplok Press.
Tjahyono, S. Indro. 2004.
Peran Militer dalam Sistem Politik di Indonesia sampai Jatuhnya Rezim Soeharto dalam Wacana: Negeri Tentara Membongkar Politik Ekonomi Militer.Yogyakarta: Insist Press.


Menurut saya tidak ada salahnya jika kursi-kursi pilitik diberikan kepada anggota TNI, asalkan dalam pelaksaannya dapat mensejahterakan kehidupan bangsa dan negara. Selain itu, jika telah terpilih menjadi pengurus dibidang pltik, yang bersangkutan harus fokus dengan apa yang ditangani saat ini. Beliau-beliau tidak boleh ikut campur mengenai tugas TNI yang dulu sempat ia kemban. Tetapi jika dalam pelaksaannya malah dapat merusak kesejahteraan dan perlindungan HAM tidak merata, tentunya lebih diperhitungakan lagi jika anggota TNI akan masuk kedunia poltik. Apalagi jika dengan banyaknya anggota TNI masuk dalam bidang poltik akan menjadikan pertahanan negara semrawut, tentunya dapat dismpulkan bahwa anggta TNI harus di fokus dalam pengembanan tugas menjaga stablitas pertahanan negara bukan malah ikut dalam dunia poltik.