Di
masa Orde Baru, peran militer jauh melampaui peran spesifiknya di bidang
pertahanan dan keamanan nasional. Biasanya, keterlibatan militer di bidang
politik disebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer
di Indonesia sehingga istilah "intervensi" tampak teramat sederhana
dan tidak dapat mencerminkan besarnya skala dan cakupan peran militer tersebut.
Pada
sisi lain, baik pada Orde Baru maupun Orde Lama, para politisi cenderung
memanfaatkan militer untuk kepentingan politik. Dengan demikian, proses
demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia diharapkan menyehatkan
hubungan sipil-militer dari kedua belah pihak. Artinya, supremasi sipil tetap ditegakkan,
tetapi kalangan sipil juga harus bertekad menghindari penggunaan militer untuk
kepentingan politik.
Peranan
TNI dalam bidang politik dimulai dengan dikenalkannya politik pada tentara
yaitu pada masa kabinet Amir Syarifudin. Pada masa itu, TNI dibagi ke dalam dua
bagian, yaitu Deaprtemen pertahanan dan TNI Mobil. Departemen pertahanan ini
dipimpin langsung oleh Amir Syarifudin, sedangkan TNI Mobil Dipimpin oleh
Sudirman. Dalam Departemen Pertahanan inilah pendidikan politik pada TNI
diberikan. Sejak itulah TNI mulai mengenal dunia politik.
Pada
tahun 1965, tepatnya 1 oktober 1965, TNI melakukan kudeta militer terhadap
Presiden Soekarno. Akan tetapi, kudeta tersebut tidak terlaksana dan hanya
sekedar domonstrasi bersenjata saja di depan Istana Negara. Salah satu faktor
penyebab terjadinya peristiwa itu adalah adanya keinginan pihak TNI untuk
dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan politik. Namun, hal tersebut
ditolak oleh Soekarno.
Salah
satu di antara peran non-pertahanan yang dimainkan oleh TNI adalah peran
sosial-politik. Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok
dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan
politik dan pemerintahan. Perwira-perwira militer, termasuk yang aktif, mulai
dari menjadi kepala desa/ lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, sampai
menjadi menteri. Bahkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pernah
diisi oleh orang militer secara bersamaan.
Selain
itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh
birokrat sipil mulai dari kepala dinas, kepala kantor departemen, inspektur
jenderal, direktur jenderal, sampai sekretaris jenderal.
Selain
itu, militer juga mengisi kursi di lembaga legislatif dan memiliki fraksi
tersendiri yakni fraksi ABRI, baik di DPR maupun DPRD, yang diperoleh melalui
penjatahan, bukan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Jumlah kursi di DPR
yang dijatahkan untuk militer pernah mencapai 100 kursi, kemudian dikurangi
menjadi 75, dan sekarang menjadi 38.
Tidak
cukup sampai di situ saja, militer juga hadir di badan-badan ekonomi seperti
Badan Usaha Milik Negara dan koperasi. Organisasi politik, organisasi
kepemudaan, dan organisasi kebudayaan serta olahraga juga terbuka bagi militer.
Praktek penjatahan jabatan-jabatan sipil yang diberikan kepada militer, baik di
tingkat pusat maupun daerah, berjalan lancar.
Lebih
lanjut lagi, praktek yang tidak selaras dengan spesialisasi fungsi militer
tadi, didukung dan dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran-tafsiran
historis, ideologis, dan konstitusional. Disebutkan bahwa peran yang dominan
itu selaras dengan fakta bahwa militer adalah tentara rakyat, dari rakyat dan
untuk rakyat. Konsekuensinya, dikotomi sipil-militer tidak dikenal dalam sistem
politik Indonesia dan kedudukan militer dalam jabatan-jabatan sipil dapat
dibenarkan.
Secara
ideologis, militer mengedepankan dan mensosialisasikan dwifungsi ABRI sebagai
alasan bagi perangkapan fungsi militer dan penguasaan militer atas
posisi-posisi politik, sosial dan ekonomi. Argumen konstitusional juga
diberikan dengan menyalahgunakan pasal 2 UUD 1945 sehingga militer dianggap
termasuk ke dalam kategori “golongan” yang berhak duduk di lembaga legislatif.
Peran
militer yang dominan seperti terjadi pada masa Orde Baru tentu saja menimbulkan
berbagai dampak yang negatif dan destruktif dilihat dari pembinaan tatanan
politik yang demokratis. Dominasi militer bukan hanya di birokrasi sipil saja
tetapi juga militerisasi masyarakat sipil, misalnya pembentukan resimen
mahasiswa dan lembaga-lembaga paramiliter sebagai bagian dari organisasi massa.
Sebagai akibatnya, di kalangan masyarakat sipil muncul budaya dan perilaku yang
militeristis. Akan tetapi, hal tersebut tidak sepenuhnya negatif dan
destruktif, ada pula sisi positif yang bisa diambil dari dibentuknya organisasi
masa yang berbasis militer tersebut, yaitu dengan tumbuhnya rasa nasionalisme
yang tinggi pada kaum muda, yang saat ini rasa nasionalisme pada jiwa kaum muda
bangsa Indonesia sudah minim sekali.
Disamping
itu juga, dominasi politik TNI mendorong bangsa dan negara Indonesia ke arah
disintegrasi. Walaupun hal ini menjadi masalah di seluruh Indonesia, gejalanya
terlihat paling jelas di Timor Timur, Aceh dan Ambon. Keadaan ini sungguh
ironis mengingat bahwa selama ini TNI menganggap dirinya sebagai kekuatan
pemersatu bangsa dan negara.
Reformasi
posisi dan peran militer tersebut perlu dilaksanakan, dan dilaksanakan sesegera
mungkin, berdasarkan anggapan bahwa fungsi militer perlu dikembalikan ke bidang
pertahanan saja. Sebab, militer sebagai alat negara terbentuk supaya di dalam
struktur negara ada badan yang diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan
senjata. Itulah sebabnya, prinsip dan praktek demokrasi mengharuskan militer
menjadi alat negara yang menjalankan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan,
sedangkan kebijakan itu dibuat oleh pihak lain seperti pemerintah dan lembaga
perwakilan rakyat yang dibentuk secara demokratis.
Pengalaman
negara-negara lain menunjukkan bahwa, apabila monopoli tersebut gagal atau
bermasalah, akan terjadi beberapa kemungkinan yang tidak diinginkan oleh
masyarakat dan militer sendiri yang ingin hidup tenteram dan demokratis. Salah
satu di antaranya adalah militer yang kebal hukum, yaitu dimana militer
menyalahgunakan monopoli tersebut, tetapi pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh militer tidak diusut dan diadili dengan tuntas. Dua kemungkinan
lain adalah pecahnya perang saudara, yaitu ketika suatu unsur masyarakat
melanggar prinsip monopoli di atas dan menggunakan kekerasan senjata terhadap
unsur masyarakat lain, dan pemberontakan, yaitu bila suatu unsur masyarakat
melanggar monopoli tersebut dan menggunakan kekerasan senjata melawan pemerintah.
Biasanya, dalam situasi ketika monopoli tersebut terancam, militer dihadapkan
pada berbagai persoalan seperti demoralisasi, perpecahan internal, dan gangguan
pada hirarki komando. Oleh karena itu, reformasi posisi dan peran TNI sebagai
bagian dari proses demokratisasi di Indonesia adalah demi kebaikan TNI pula.
Fenomena
di atas telah sering dipertanyakan di masa lalu. Namun, sistem otoriter yang
kaku tidak memungkinkan adanya perubahan yang mendasar. Dalam era reformasi
ini, suara dan desakan dari masyarakat semakin keras menuntut adanya reformasi
posisi dan peran militer menuju kehidupan yang demokratis di Indonesia.
Tuntutan tersebut dijawab oleh TNI dengan “Paradigma Baru-nya”.
Pelaksanaan
paradigma tersebut telah membawa dampak yang cukup positif. Misalnya, TNI
memutuskan hubungan historisnya dengan Golkar dan bersikap cukup netral dalam
pemilu yang lalu. Proses reformasi kepolisian juga dimulai dengan dipisahkannya
POLRI dari ABRI. Contoh lain adalah kebijakan baru yang mengharuskan anggota aktif
TNI yang menduduki jabatan sipil untuk memilih kembali ke satuannya atau
pensiun.
Namun,
di sisi lain, paradigma itu dinilai tetap mempertahankan peran sosial-politik
TNI, walaupun pada tingkat intensitas yang lebih rendah. Di samping itu,
pelaksanaan paradigma itu terkesan lebih merupakan upaya TNI untuk memperbaiki
citranya daripada menyelesaikan persoalan yang sebenarnya. Akan tetapi, sudah
ada usah dari pihak TNI untuk memperbaiki funfsi dan tugasnya, walaupun itu
hanya untuk sekedar merubah citra belaka, yang terpenting, sudah ada perubahan
dalam tubuh TNI, sehingga dominasi TNI dalam bidang politik akan semakin
berkurang, dan suatu saat nanti harus sama sekali habis.
Oleh
karena itu, kehadiran Paradigma Supremasi Sipil ini dirasakan perlu untuk lebih
memperluas wacana publik mengenai penataan kembali hubungan sipil-militer di
Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999.
Dengan demikian, sangat diharapkan bahwa rekomendasi yang terkandung dalam
cetak biru ini dapat diwujudkan dalam ketetapan MPR, sebagai landasan kebijakan
pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Sumber:
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusuanto. 1993.
Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Robinson,
Geofrey B. 2000.
Kudeta Angkatan Darat. Terj. Abijan Wahid.
Jakarta: Teplok Press.
Tjahyono,
S. Indro. 2004.
Peran
Militer dalam Sistem Politik di Indonesia sampai Jatuhnya Rezim Soeharto dalam
Wacana: Negeri Tentara Membongkar Politik Ekonomi Militer.Yogyakarta: Insist
Press.
Menurut
saya tidak ada salahnya jika kursi-kursi pilitik diberikan kepada anggota TNI, asalkan
dalam pelaksaannya dapat mensejahterakan kehidupan bangsa dan negara. Selain itu,
jika telah terpilih menjadi pengurus dibidang pltik, yang bersangkutan harus fokus
dengan apa yang ditangani saat ini. Beliau-beliau tidak boleh ikut campur
mengenai tugas TNI yang dulu sempat ia kemban. Tetapi jika dalam pelaksaannya
malah dapat merusak kesejahteraan dan perlindungan HAM tidak merata, tentunya
lebih diperhitungakan lagi jika anggota TNI akan masuk kedunia poltik. Apalagi jika
dengan banyaknya anggota TNI masuk dalam bidang poltik akan menjadikan
pertahanan negara semrawut, tentunya dapat dismpulkan bahwa anggta TNI harus di
fokus dalam pengembanan tugas menjaga stablitas pertahanan negara bukan malah ikut
dalam dunia poltik.